BUNDA DI BELANDA
Fara menatap layar komputer dengan puas. Dia baru saja mengirim e-mail untuk Bunda yang sedang kuliah di Belanda, tepatnya di kota Rotterdam. Bunda mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Negeri Kincir Angin itu.
Awalnya Fara sedih waktu Bunda dan Ayah mengabari bahwa Bunda akan pergi ke Belanda untuk kuliah di sana selama setahun. Bunda akan pergi sendiri. Tanpa Ayah dan Fara. Sebenarnya Fara sudah biasa ditinggal Bunda, kalau Bunda mendapat tugas dari kantornya ke luar kota. Tapi kali ini Bunda akan pergi jauh, dan lama. Biasanya paling-paling Bunda pergi selama satu minggu. Itu pun sudah membuat Fara kangen sekali sama Bunda.
Bunda bilang, uang beasiswa Bunda tidak cukup untuk membawa serta Fara dan Ayah untuk ikut tinggal di Belanda. Lagipula, pekerjaan Ayah di kantor tidak bisa ditinggal lama-lama, apalagi sampai setahun. Jadi, terpaksa Bunda pergi sendiri, tanpa mengajak Fara dan Ayah.
Tadinya Bunda mau menolak beasiswa itu, karena kasihan sama Fara dan Ayah. Tapi Ayah meyakinkan Bunda, bahwa sekolah itu penting. Lagipula sayang kalau beasiswa itu harus ditolak begitu saja, sementara banyak orang yang menginginkannya.
Fara sebenarnya tidak masalah kalu Bunda melanjutkan kuliah. Tapi kalau jauh sekali ke Belanda, sementara dia ditinggal di Indonesia, Fara jadi sedih. Selama ini Fara dekat sekali sama Bunda. Bunda tempatnya cerita dan curhat tentang kejadian-kejadian di sekolah. Bunda yang menyisir dan mengikat rambutnya tiap kali Fara mau ke sekolah. Bunda yang membantunya mengerjakan PR. Fara sering ikut Bunda ke kantor kalau kebetulan Bunda harus lembur di hari Sabtu atau Minggu. Pokoknya bagi Fara, Bunda adalah teman terbaiknya.
Bunda dan Ayah mengerti kegalauan hati Fara.
“Fara, Bunda memang pergi cukup lama. Setahun. Tapi, Bunda pergi untuk kuliah, bukan liburan atau bersenang-senang. Dan, kalau Fara juga menyibukkan diri di sekolah, les mengaji dan berenang, waktu setahun itu tidak akan selama yang dibayangkan,” kata Ayah.
Bunda melanjutkan, ”Fara juga tetap bisa curhat sama Bunda. Nanti Bunda akan sering-sering telepon dan mengirim e-mail untuk Fara.”
“Dan jangan khawatir, gini-gini Ayah juga ahli soal kepang-mengepang dan mendandani rambut lho. Adik Ayah kan perempuan semua. Dulu Ayah yang bantuin Eyang Putri menyisir dan mendadani Tante Dewi dan Tante Reni setiap mereka ke sekolah.”
Hihi, mau tak mau Fara jadi tersenyum geli membayangkan Ayah yang masih kecil sibuk mendandani tante-tantenya.
Demikianlah. Bunda masih punya waktu sebulan sebelum berangkat ke Belanda. Rasanya Fara ikut sibuk bersama Bunda menyiapkan segala sesuatu sebelum Bunda berangkat.
Fara ikut menemani ketika Bunda mencari winter coat untuk dipakai di Belanda. Ya, Belanda adalah Negara di Eropa yang memiliki 4 musim: spring (musim semi), summer (musim panas), autumn (musim gugur), dan winter (musim dingin).
Fara dan Ayah ikut membantu Bunda mengepak barang bawaan di koper. Koper Bunda besar sekali. Selain pakaian dan buku, Bunda juga membawa beberapa makanan, seperti mie instant, kering tempe dan bumbu pecel. Kata Bunda, ini penting untuk hari-hari awal Bunda di Belanda, karena siapa tahu di sana Bunda tidak langsung bisa menemukan tempat berbelanja bahan makanan untuk dimasak.
Lalu hari itu pun tiba. Fara dan Ayah mengantar Bunda ke bandara. Sepanjang perjalanan Bunda memeluknya erat. Ayah menyetir mobil sambil bernyanyi-nyanyi, sesekali menceritakan kejadian lucu. Fara dan Bunda tertawa, terhibur oleh Ayah.
Hari-hari pertama ditinggal Bunda benar-benar berat bagi Fara. Fara sering bersedih dan merasa kesepian. Untung ada Ayah yang selalu baik dan menemani Fara. Ayah juga mengajari Fara membuat dan mengirim e-mail, sehingga Fara bisa surat-suratan dengan Bunda lewat internet.
Bunda kadang menyertakan foto di e-mail yang dikirimkan untuk Fara. Ada foto Bunda kegiatan Bunda di kelas, foto kampus – tempat Bunda kuliah, juga foto-foto pemandangan di Belanda, seperti kincir angin dan bunga tulip.
Selain itu, Ayah pun memasang Skype di komputer rumah. Dengan Skype, Fara dan Ayah bisa menelepon dengan Bunda dengan saling bertatapan muka di layar komputer. Mengobrol dengan Bunda sambil menatap wajah beliau di layar, membuat Fara merasa seperti sedang berada di hadapan Bunda. Kadang Fara sampai tidak menyadari bahwa Bunda berada nun jauh di negeri Belanda yang beribu-ribu kilometer jauhnya.
Kini sudah hampir enam bulan Bunda di Belanda. Fara sudah mulai terbiasa dan menjadi lebih mandiri. Ternyata semuanya tak sesulit yang dibayangkannya dulu. Skype dan email membuatnya selalu merasa dekat dengan Bunda. Dan tanpa disadari, kemampuan Fara mengetik dan bercerita lewat email semakin terasah. Fara pun tak lagi risau dengan dandanan rambutnya, karena Ayah memang bisa menanganinya dengan baik dan Fara pun sedikit demi sedikit mulai lihai menjepit, menguncir, dan mengepang sendiri rambut panjangnya.
Di emailnya yang terakhir, Bunda bercerita tentang tugas-tugas kuliahnya yang banyak. Tentang kesibukannya belajar. Fara tidak mau kalah dengan Bunda yang masih saja semangat untuk belajar. Fara merasa tertulari semangat Bunda. Dalam benaknya, asyik sekali kompakan dengan Bunda untuk sama-sama bersekolah. Walau dia di Indonesia dan Bunda di Belanda.
Hmm.. Fara tersenyum sambil memandangi layar komputer di hadapannya. Fara tahu, walaupun Bunda jauh di Belanda, tapi Bunda selalu mengingat dan menyayanginya. Seperti Fara terhadap Bunda.